Perayaan Waisak yang sejatinya menjadi sebuah acara sakral bagi Umat Buddha untuk beribadah telah sudah cukup lama menjadi sebuah destinasi wisata. Banyak wisatan lokal hingga mancanegara yang menunggu dilangsungkannya perayaan ini setiap tahunnya.
Magelang, sebagai tempat dimana Candi Borobudur berada menjadi pusat berlangsung perayaan Waisak setiap tahunnya, tidak terkecuali tahun ini. Perayaan Waisak yang dihadiri oleh umat Buddha dari seluruh penjuru dunia ini menjadi acara yang sangat akbar dan “Massive” dalam satu waktu. Lalu apa sebenarnya daya tarik acara ini sehingga setiap penyelenggaraannya selalu dibanjiri oleh wisatawan dan warga yang ingin menonton?
Berbagai tujuan para wisatawan untuk menghadiri perayaan Waisak. Beribadah? Pasti banyak yang memiliki tujuan ini. Berwisata dan mengetahui atau belajar tentang tradisi umat Buddha? Bisa dihitung dengan mudah jumlahnya. Foto-foto menggunakan smartphone dan diposting di sosial media seperti instagram? Tidak bisa dibilang sedikit. Menunggu datangnya acara puncak pelepasan lampion? Hampir semua menjawab inilah alasannya.
Banyak cerita menarik dibalik perayaan Waisak. Berbagai pihak mencoba mengambil kesempatan dalam berlangsungnya acara ini. Acara yang sebenarnya gratis ini oleh beberapa pihak dijadikan ajang mencari untung dengan menawarkan paket wisata Waisak. Dengan tarif yang cukup mahal dan beberapa paket fasilitas yang ditawarkan para penyedia layanan jasa wisata Waisak mencari calon klien hingga keluar daerah bahkan keluar negeri. Bagi para pencopet acara ini juga menjadi ladang emas semalam bagi mereka. Sudah tidak terhitung berapa ratus testimoni dan pemberitaan tentang tindakan kejahatan ini di media sosial dan internet. Tidak luput juga banyaknya masalah-masalah lain yang kebanyakan terjadi pada para wisatan atau pengunjung. Namun, diluar semua itu, hal yang paling penting dalam perayaan ini terkadang malah dikesampingkan atau tidak terlalu dihiraukan oleh mereka yang datang atau melihat langsung prosesi perayaan Waisak. Hal penting tersebut tentu saja tujuan dari acara ini diadakan, yaitu ibadah bagi umat Buddha. Ibadah yang seharusnya menjadi khidmat, sakral dan khusyuk menjadi sesuatu yang mahal dan tidak bisa dinikmati para umat Buddha ketika merayakan Waisak.
Sedikir flashback ke perayaan Waisak yang terjadi 2 tahun yang lalu. Perayaan Waisak tahun 2012 menjadi tolok ukur bagaimana kelanjutan setiap tahunnya acara ini akan berjalan. Pada perayaan Waisak 2011 dan 2012, acara berjalan cukup lancar kendati begitu banyak animo masyarakat yang hadir langsung dan mengikuti jalannya acara. Dalam kurun waktu 2 tahun tersebut bisa dibilang perayaan ini sangat ramai, namun umat Buddha terlihat masih memiliki “Ruang” untuk melaksanakan ibadah. Para fotografer yang hadir melakukan tugas mereka secara profesional dengan mengikuti aturan yang telah disampaikan pihak panitia. Hal yang lebih jelas terlihat adalah ruang yang masih tersisa dipanggung utama Candi Borobudur. Dalam prosesi mengelilingi Candi Borobudur pun semua berjalan dengan tertib dan tenang. Pihak media dari TV nasional yang ikut meliput pun tetap menjaga ketertiban dengan memelankan suara mereka ketika meliput. Acara puncak pelepasan ribuan lampion pda malam harinya juga berjalan dengan lancar. Terlihat tawa para panitia, wisatawan dan umat Buddha melebur tertawa menjadi satu dalam acara puncak ini.
Itulah sedikit gambaran yang terjadi pada prosesi perayaan Waisak pada tahun 2011 dan 2012. Namun apakah acara memang sesempurna itu berjalan? Tentu saja tidak. Pada tahun-tahun lalu tetap bisa terlihat fotografer nakal, wisatawan yang susah ditegur dan melanggar peraturan. Namun jumlahnya sedikit. Masih banyak mereka yang datang tetap menjada ketertiban. Para fotografer juga memposisikan diri mereka pada tempat-tempat yang sudah disediakan. Kebanyakan dari mereka menunggu dengan duduk dekat dekorasi dan mencari tempat yang luang.
Apa dalam acara waisak tahun itu tidak ada wisatawan yang “nakal”? Sudah dibilang ada.. Meskipun mereka duduk di tikar yang digunakan untuk beribadah umat Buddha, namun keadaan memang masih longgar dan masih banyak ruang yang tersisa. Selain itu para wisatawn juga masih bisa menjaga volume suaranya.
Lalu bagaimana dengan perayaan Waisak tahun lalu atau lebih tepatnya tahun 2013?
Sudah tidak terhitung berapa ratus artikel, postingan, status dan tweet yang mengomentari berlangsungnya Waisak 2013 di Candi Borobudur. Semua hampir bernada serentak. Waisak 2013 sangat tidak kondusif. Masih ingat cewek ABG dengan celana hotpant yang terfoto sedang memotret seorang bhiksu yang sedang bersembahyang dari atas batu Candi? Sedikit contoh kejadian yang membuat heboh dunia maya. Selain momen tersebut? Bisa dicari banyak sekali hal-hal yang terjadi selama berlangsungnya acara.
Singkatnya tentang kondisi perayaan Waisak 2013. Pernah melihat konser musik? Seperti itulah mungkin kiasan yang bisa mendekati bagaimana kondisi acara Waisak waktu itu. Ribuan wisatawan membludak untuk mengikuti jalannya acara hingga prosesi puncaknya. Saling dorong dan desak sudah mulai terlihat dari pintu masuk Candi Borobudur dimana ratusan wisatawan menunggu untuk diperiksa menggunakan detektor logam. Tidak hanya wisatawan dan pengunjung, beberapa Bhiksu juga terlihat susah payah untuk bisa masuk dan terpaksa harus terkena dorongan dari wisatawan. Meihat para Bhiksu ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana seorang tuan rumah sebuah acara kesusahan untuk memasuki rumahnya sendiri. Tidak hanya berdesakan saja, namun para pengantri ini juga meneriakkan kata BukaBukaBuka! kepada para petugas agar membukakan pintu gerbang. Apa bedanya dengan demo buruh?
Lebih masuk kedalam, masih terdapat antrian lagi. Namun yang ini lebih tertib karena pengunjung mungkin masih tertahan dibagian belakang. Tetapi begitu mengejutkan ketika memasuki kawasan pelataran Candi. Lautan manusia sudah membanjiri area ini. Tidak ada ruang sedikitpun. Tikar yang digunakan sebagai alas sudah penuh sesak tanpa ruang kosong. Untuk berjalan saja sudah sangat susah melewati para wisatawan yang sudah datang sebelumnya.
Prosesi mengelilingi Candi juga tidak luput dari kerumunan para wisatawan. Mari bandingkan. 3 Tahun lalu ketika prosesi ini dilakukan, 90% wisatawan ikut naik untuk mengikuti jalannya acara. Area panggung menjadi lebih longgar tersisa hanya beberapa puluh orang. Namun pada tahun 2013, meskipun acara mengelilingi Candi sudah berlangsung, masih banyak sekali wisatawan yang berada diarea panggung. Ratusan orang masih berkumpul di area panggung dan hanya menyisakan sedikit ruang kosong.
Kejadian lain yang sempat menjadi bahan pembicaraan hangat di media cetak atau elektronik adalah ketika panitia mengumumkan pembatalan acara puncak pelepasan lampion karena kondisi hujan. Dan lagi-lagi dengan sangat kompak terdengar teriakan kekecewaan bernada “huuu..” dari barisan wisatawan. Padahal di waktu yang sama umat Buddha masih banyak yang melakukan sembahyang di area Candi. Setelah itu panitia akhirnya memutuskan untuk mengundur acara pelepasan lampion hingga hujan reda selama kurang lebih 30 menit dan acara puncak pelepasan lampion akan tetap dilangsungkan.
Lalu bagaimana dengan perayaan Waisak 2014? Masih sesak? Masih teriak-teriak? Masih tidak tertib?
Mengingat semakin membludaknya pengunjung perayaan Waisak setiap tahunnya, sempat terdengar wacana bahwa area Candi akan ditutup untuk umum selama berlangsungnya acara mulai tahun 2014 ini. Hal ini berhembus kencang dimedia sosial sehingga menimbulkan banyak komentar dari berbagai pihak. Saat ini belum diketahui apakah wacana ini akan benar-benar diterapkan atau tidak. Tetapi jika diterapkan mungkin ini bisa menjadi solusi utama bagi umat Buddha untuk mendapatkan ketenangan selama bersembahyang pada perayaaan Waisak tahun-tahun berikutnya.