Masjid Langgar Agung Pangeran Diponegoro berada di Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Magelang. Hingga sekarang masjid tersebut masih kokoh berdiri dan masih digunakan untuk tempat ibadah umat Muslim warga lereng Menoreh. Terletak di kaki bukit perbukitan Menoreh, Masjid Langgar Agung Pahlawan Nasional Pangeran (PNP) Diponegoro masih kokoh berdiri.
Konon Langgar Agung PNP Diponegoro awalnya adalah tempat Pangeran Diponegoro beribadah mujahadah atau bersemedi serta lokasi mengatur strategi untuk melawan penjajah Belanda antara tahun 1825 hingga 1830. Pangeran Diponegoro dalam berjuang dan mengembangkan agama Islam di perbukitan Menoreh masih dapat terlihat dari masjid ini. Dari tempat petilasan ini oleh penduduk sekitar dibangunlah langgar atau mushola pada tahun 1950 hingga 1972 atas prakarsa ABRI dan pemerintah setempat diadakan proses rehab bangunan langgar menjadi Masjid. Bangunan pun diperluas menjadi delapan-kali-delapan belas meter karena perancang desain masjid adalah orang keturunan Belanda beragama Islam. Atas prakarsa Jenderal Sarwo Edi Wibowo, pada paruh kedua tahun 1960-an dimulai pembuatan pondasi masjid dengan pengimaman berada di atas tatanan batu yang didirikan oleh pasukan Pangeran Diponegoro itu. Pembangunan masjid selesai tahun 1972 dan diresmikan oleh gubernur Jawa Tengah. Di dalam Masjid Langgar Agung Diponegoro disimpan peninggalan Al-Quran tulisan tangan Pangeran Diponegoro
Arsitektur masjid pun dominan bergaya Belanda, bahkan secara sekilas masjid ini pun mirip dengan bangunan gereja. Dari enam kubah, empat kubah kecil mirip kubah Gereja Bledug Semarang, namun kubah besar utama dan kubah kecil di atas menara setinggi 15 meter mengadopsi kubah Masjid Nabawi yang terletak di Makah Arab Saudi. Patut disayangkan, keberadaan Langgar Agung PNP Diponegoro ini tidak termasuk dalam bangunan cagar budaya karena tidak terdapat bukti sejarah tulisan yang mendukung. Menurut Takmir Langgar Agung PNP Diponegoro, Kyai Haji Ahmad Nur Shodiq, tidak masuknya Langgar Agung PNP Diponegoro ke bangunan cagar budaya ini karena bukti tulisan yang tercatat hanya pada pasca rehabilitasi mulai pada tahun 1972 saja bukan saat digunakan Pangeran Diponegoro.