Kesenian daerah, dari mulai seni tari, musik, gambar hingga seni pahat merupakan bahan pembicaraan yang tidak akan ada habisnya untuk dibahas. Selain karena saking banyaknya kesenian daerah yang ada di bumi nusantara kita ini, setiap kesenian daerah memiliki makna tersendiri. Bahkan sudah sering kita jumpai kesenian daerah yang memiliki arti atau mengisahkan tentang terjadinya suatu peristiwa. Tidak terkecuali dengan kesenian yang satu ini. Kuda Lumping.
Kuda Lumping atau yang lebih dikenal oleh masyarakat magelang sebagai jathilan sampai saat ini masih terus bertahan ditengah serangan arus modernisasi. Salah satu wilayah yang masih mempertahankan kesenian ini adalah kecamatan windusari magelang. Windusari merupakan sebuah wilayah di kabupaten magelang. Kecamatan windusari berada di lereng gunung sumbing dengan ketinggian 600-650 dpl dan berbatasan langsung dengan kabupaten temanggung.
Kesenian kuda lumping atau jathilan sangat sering sekali digelar didaerah ini apalagi mendekati perayaan-perayaan desa atau keagamaan. Biasanya kuda lumping diadakan juga ketika ada hajatan salah satu warga desa. Kecamatan windusari magelang memiliki lebih dari 1 kelompok kuda lumping. Dan salah satu kelompok kuda lumping dari kecamatan ini pernah berprestasi untuk tampil di Bali dalam rangka Pesta Kesenian Bali ke-34.
Kesenian kuda lumping memiliki keterkaitan yang erat dengan kisah Prabu Klana Sewandana. Dalam legenda tersebut diceritakan Prabu Klana Sewandana ditinggal pergi oleh sang istri. Dalam usaha pencariannya sang Prabu harus bertarung melawan Buto atau raksasa. Sang Prabu menang dalam pertarungan itu dan akhirnya dia dapat bertemu lagi dengan sang istri. Kisah ini lah yang diangkat kembali oleh masyarakat kecamatan windusari melalui media kesenian yaitu Kuda Lumping.
Saat pementasan Kesenian Kuda Lumping terdiri dari 40 orang pemain. Pemain-pemain ini meliputi penari dan penabuh gamelan. Sedangkan untuk lama pementasannya berdurasi antara 1 hingga 3 jam.